Masalah Sosial Sebagai Hambatan Peningkatan Kesejahteraan, (Kasus Penyalahgunaan Obat)

Mata Kuliah : Sosiologi dan Politik
Dosen : Muhammad Burhan Amin

Topik Tugas : Masalah Sosial Sebagai Hambatan Peningkatan Kesejahteraan,
(Kasus Penyalahgunaan Obat)

Kelas : 1 EB 18

Dateline Tugas : 20 Maret 2010
Tanggal Penyerahan Tugas : 20 Maret 2010


PERNYATAAN

Dengan ini kami menyatakan bahwa seluruh pekerjaan dalam tugas ini kami buat sendiri tanpa meniru atau mengutip dari tim / pihak lain.

Apabila terbukti tidak benar, kami siap menerima konsekuensi untuk mendapat nilai 1/100 untuk mata kuliah ini.


Penyusun

NPM Nama Lengkap Tanda Tangan

20209366
Priscilla Maria Ratu Patty






Program Sarjana Akuntansi
UNIVERSITAS GUNADARMA
Tahun 2010



KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karuniaNya, makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Penulis juga menghaturkan banyak terima kasih kepada Bapak Muhammad Burhan Amin , selaku dosen dari mata kuliah Sosiologi dan Politik yang telah memberikan bimbingan dalam setiap proses penyusunan makalah ini.

Makalah ini merupakan tugas dari mata kuliah Sosiologi dan Politik yang secara garis besar membahas tentang Masalah Sosial Sebagai Hambatan Peningkatan Kesejahteraan , (Kasus Penyalahgunaan Obat). Dalam isi makalah ini akan diuraikan mengenai intensitas dan kompleksitas masalah, latar belakang masalah, serta upaya penanganan masalah.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja, maka penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun agar dapat menjadi masukan yang bermanfaat bagi pengembangan makalah ini di masa mendatang. Akhir kata penulis mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian dan kesediaannya dalam membaca makalah ini.


Bekasi, 20 maret 2010



Penulis







DAFTAR ISI

PERNYATAAN ……………………………………………………………………… 1

KATA PENGANTAR ……………………………………..…………………………. 2

DAFTAR ISI ………………………………………………………………………….. 3
BAB 1
- Pendahuluan ……………………………………………..…...……………………….4
BAB 2
- Intensitas dan Kompleksitas masalah ….……………………………………………..5
BAB 3
- Latar Belakang Masalah …………………………………………………………….. 8
BAB 4
- Penanganan Masalah …………………………………………………………………10
BAB 5
KATA PENUTUP ……………………………………………………………………. 13
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………… 14



















BAB 1
PENDAHULUAN

Masalah sosial juga dapat berada pada posisi saat usaha mewujudkan masyarakat yang sejahtera sedang berlangusung (on going process). Masalah sosial yang berkaitan dengan perilaku orang per orang sebagai anggota masyarakat seperti tindak kriminal, prostitusi, kenakalan serta berbagai bentuk penyalahgunaan dan kecanduan obat. Dapat juga berupa disintegrasi sosial, masalah kependudukan dan kurang berfungsinya berbagai bentuk aturan sosial. Akan dibahas pula contoh masalah sosial berupa penyalahgunaan obat seperti narkotika, alkohol berserta implikasi seperti mabuk, teler dan kecanduan.

Jenis masalah sosial tersebut dapat dilihat sebagai salah satu hambatan usaha mewujudkan masyarakat sejahtera, terutama apabila peningkatan kesejahteraan dipandang sebagai proses pendayagunaan sumber daya dalam rangka pemenuhan kebutuhan guna peningkatan taraf hidup masyarakat. Nilai strategis sumber daya ini tidak semata-mata terletak pada segi jumlah atau kualitas. Sehubungan dengan hal itu, sebagai sumber daya manusia, warga masyarakat penyandang masalah penyalahgunaan dan kecanduan obat tidak dapat diharapkan tampil dalam kapasitas yang maksimal.

Keberhasilan proses peningkatan taraf hidup akan sangat ditentukan oleh partisipasi yang nyata dan aktif seluruh warga masyarakat dalam keseluruhan tahap dari proses tersebut.









BAB 2
Intensitas dan Kompleksitas Masalah

Pada awal mulanya alkohol atau minuman beralkohol lebih berkaitan dengan fisik. Dalam kedudukan seperti, maka efek yang timbul juga terjadi pada segi fisik dan dalam batas-batas kewajaran tidak menimbulkan dalam yang negatif. Dalam tingkat seperti ini alkohol lebih sebagai jenis minuman biasa, pendorong pencernaan, pendorong agar cepat tidur, perlindungan terhadap kedinginan, sebagai obat suatu penyakit tertentu atau rasa kesakitan (Lemart, 1967:72). Bentuk dan fungsinya kemudian tidak sekedar sebagai sarana relaksasi terhadap kelelahan, tekanan batin, rasa apatis, perasaan terisolasi, akan tetapi juga berfungsi sebagai sarana ritual dalam rangka mengembangkan simbol solidaritas serta sebagai sarana untuk jembatan dan pengakraban pergaulan.
Hanya saja dalam proses selanjutnya, banyak dijumpai pemakaian yang berlebihan dan tidak wajar sehingga di samping mudah menyimpang dan berbagai fungsi semula, juga dapat mengakibatkan dampak negatif baik fisik maaupun sosial. Berdasarkan pemikiran adanya ambivalensi itulah maka untuk aspek yang negatif digunakan konsep penyalahgunaan, Karena pada sisi lain dengan pemakaian yang wajar dan proposional bahan itu memang bermanfaat.
Ambivalensi nilai terhadap alcohol tersebut muncul dari kenyataan bahwa alcohol dapat menjadi pengubah perilaku. Alcohol dapat membuat senang sekaligus membuat orang menjadi sakit dan tidak bahagia. Dampak yang paling terlihat dari mobuk alcohol adalah perilaku menjadi agresif dan kecenderungan pada deviasi dalam perilaku eksual. Secara psikologis, terlalu sering mabuk juga dapat membuat seseorang menelantarkan atau kurang memerhatikan penampilan dan peranan sosialnya. Banyak nilai yang dikorbankan dari kebiasaan ini, misalnya rasa respek terhadap sesame, kehidupan, dan integritas keluarga, kesehatan, pekerjaan sehari-hari dan bahkan juga nilai kepercayaan dalam hubungan finansial (Lemert, 1967: 74).
Drug adalah sebangsa bahan kimia yang dapat memengaruhi dan membawa efek pada fungsi dari struktur organisme tubuh. Dalam hal penggunaannya memang berkaitan dengan kultur masyarakat di samping perkembangan sosial ekonominya. Sebagai ilustrasi, rata-rata keluarga di Amerika Serikat menyimpan sekitar 30 jenis obat-obatan di dalam lemari obat dan sejumlah minuman beralkohol di lemari minuman (Eitzen, 1986: 492).
Permasalahan kemudian dapat berakibat pada kebiasaan mabuk dan teler yang dalam jangka panjang bersifat merugikan baik secara fisik, psikologis dan sosial. Bahkan dalam proses lebih lanjut kebiasaan tersebut tidak saja mengakibatkan seseorang menjadi mabuk dan teler tetapi juga mengakibatkan kecanduan (drug addiction). Kecanduan adalah sebuah proses seperti yang sudah diuraikan sebelumnya, yaitu penyalahgunaan dan pemakaian berlebihan yang kemudian mengakibatkan seseorang menjadi tidak berdaya, dalam pengertian kondisi tersebut akan bersifat mengendalikan orang yang bersangkutan, membuatnya berbuat dan berfikir secara tidak konsisten dengan nilai-nilai kepribadiannya dan mendorong orang tersebut menjadi semakin kompulsif dan obsesif (Schaef, 1987: 18).
Menurtu Schaef, gejala kecanduan tidak hanya berupa kecanduan terhadap obat, tetapi juga kecanduan terhadap aktivitas tertentu. Ia membedakannya menjadi kecanduan substansi dan kecanduan proses. Kecanduan substansi adalah kecanduan pada substansi tertentu yang biasanya merupakan produk artifisial yang dimasukan ke dalam tubuh secara sengaja. Sedangkan kecanduan proses adalah terjadi apabila seseorang menjadi terkait dan sulit menghindar dari suatu proses yang merupakan rangkaian spesifik dari aksi dan reaksi. Sebagai contoh kebiasaan berjudi, mengumpulkan uang , perilaku seksual.
Melalui suatu penelitian khususnya bagi pemakai mariyuana untuk kenikmatan, diketahui bahwa tingkat awal seseorang tidak langsung dapat merasakan kenikmatan tersebut. Untuk menuju ke sana dibutuhkan proses yang harus melalui beberapa tahap. Tahap-tahap yang dimaksud adalah : mempelajari teknik, belajar memahami efeknya dan belajar menikmati efek yang timbul. Pemakai marayuana cenderung akan terus menggunakannya apabila ia telah mampu melalui tahap ketiga yitu belajar menikmati efek yang timbul. Agar sensasi yang ditimbulkan dapat dirasakan sebagai kenikmatan, butuh pengalaman.
Dilihat dari intensitas penggunaannya, seseorang berproses sebagai pecandu biasanya melalui tahap pemula, okasional dan rutin (Soekanto, 1988: 59). Tahap pemula merupakan tahap seseorang untuk pertama kali melakukannya, tahap kedua sifatnya belum rutin tergantung pada kesempatan untuk memmemperoleh dan melakukannya, sedang tahap ketiga seseorang telah menggunakannya secara rutin. Tidak jarang pada tahap ketiga ini yang bersangkutan sudah kecanduan, karena waktu dianggap sebagai sebagai kebutuhan yang harus dipenuhi, walaupun barangkali harus memperoleh barangnya dengan cara yang sulit dan melalui cara yang melanggar hukum.
Dari berbagai dampak dan implikasi perilaku mabuk apalagi sampai kecanduan obat tersebut, dapat dipahami apabila potensinya sebagai sumber daya manusia dalam pembangunan menjadi menurun. Bahkan apabila tidak mendapat penanganan apalagi disandang oleh warga masyarakat yang cukup besar, akan dapat menjadi beban pembangunan. Paling tidak, apabila kondisi mereka disamakan dengan rendahnya tingkat kesehatan, maka akan cukup mempengaruhi produktivitas kerja.




















BAB 3
Latar Belakang Masalah

Ada lima variasi perilaku individu yang menyimpang dilihat dari sumber masalahnya, kelima variasi tersebut apabila :
1. terjadi pelanggaran norma dan nilai sosial oleh individu
2. persepsi individu yang didasarkan pada proses sosialisasi
3. masyarakat yang memberikan label seseorang sebagai devian
4. peranan dari kekuatan dominant dalam proses kehidupan masyarakat
5. struktur masyarakat sendiri yang menyebabkan seseorang warganya melakukan deviasi.

Apabila dicermati, maka kelima variasi tersebut sebagian mempunyai nuansa individual sebagai sumber masalah, khususnya yang pertama dan kedua, sedang variasi yang lain atau yang ketiga sampai kelima mempunyai nuansa sosial, khususnya aspek struktural sebagai sumber masalahnya. Perbedaan tersebut di samping sangat dipengaruhi oleh kondisi dan sifat masalahnya, juga dipengaruhi oleh perspektif yang digunakan dalam memandang masalah sosial tertentu.
Ada tiga hal yang dapat digunakan untuk menjelaskan latar belakang masalah dari faktor sosialisasi ini. Yang pertama adalah urbanisme, suatu penjelasan yang berangkat dari argumen karakteristik dan kehidupan kota. Apabila karakteristik kota dan gaya hidup seperti ini terinternalisasi melalui proses sosialisasi, maka akan lebih mudah mendorong seseorang melakukan penyimpangan termasuk penyalahgunaan obat dan kecanduan obat.
Yang kedua, melalui proses transmisi kultural. Melalui cara ini dapat dijelaskan mengapa seseorang menjadi jahat, sedangkan orang lain tidak, padahal berasal dari karakteristik sosial yang sama, misalnya masyarakat urban. Yang ketiga, penjelasan melalui realita perbedaan subkultur. Dalam hal ini penggunaan obat merupakan suatu kebiasaan yang terintegrasi ke dalam subkultur tertentu. Dengan demikian berarti kebiasaan tersebut akan mewarnai pengalaman, gaya hidup dan cara hidup masyarakatnya, walaupun menurut ukuran subkultur lain atau pandangan masyarakat umum dianggap sebagai penyimpangan. Oleh sebab itulah menjadi wajar apabila pola tersebut terinternalisasi oleh anggota masyarakatnya melalui proses sosialisasi.
Suatu masyarakat tidak selalu homogen, akan tetapi sering kali juga dijumpai yang bersifat heterogen. Masyarakat dapat terdiri dari banyak kelompok yang berbeda, yang masing-masing memiliki nilai, pandangan dan kepentingan yang berbeda. Hal seperti ini terutama akan banyak ditemukan dalam masyarakat majemuk yang tidak hanya bersifat kompleks dari sudut ekonomi dan kepentingan ekonomi tetapi juga mengandung keanekaragaman etnis, kultural, agama dan gaya hidup yang sering kali menciptakan keanekaragaman nilai. Dalam masyarakat yang demikian, di mana terdapat berbagai kelompok dengan nilai berbeda saling bertemu dan berinteraksi, sangat potensial menumbuhkan konflik nilai.
Pelacakan sumber dan latar belakang masalah penyalahgunaan obat dari level masyarakat yang sudah dibicarakan tersebut pada umumnya menggunakan pandangan struktural yang di dalamnya terkandung perbedaan nilai dan perbedaan kepentingan. Pandangan struktural yang memberikan fokus perhatian pada perbedaan nilai dan perbedaan kepentingan tersebut dalam analisisnya tentang masalah sosial termasuk masalah pemakaian obat dan penyalahgunaan obat menggunakan tiga orientasi utama yaitu : berpusat pada kelompok (group centered), evaluatif, dan orientasi tindakan (action oriented) (Weinberg, 1981: 88). Group oriented maksudnya adalah bahwa masalah penyalahgunaan obat bukan disebabkan karena individu yang imoral atau kurangnya koordinasi dalam norma dan aturan, melainkan lebih merupakan fungsi dari adanya berbagai segmen dalam masyarakat. Evaluatif maksudnya definisi tentang penyalahgunaan obat tidak dilakukan dalam orientasi netral dan objektif. Definisi lebih didasarkan pada nilai dan kepentingan masing-masing kelompok. Action oriented maksudnya adalah bahwa masing-masing pihak akan berusaha untuk mempertahankan legitimasi berdasarkan nilai dan kepentingannya.
Sumber masalah juga dapat dilihat dari sudut sistem dalam pengertian yang lebih luas. Masalah penyalahgunaan obat barangkali dapat dikenal sebagai dampak dari sistem yang kurang memberikan peluang, sarana, dan saluran bagi masyarakat guna memenuhi berbagai aspirasi dan kebutuhannya. Dalam hal ini masalah sosial akan timbul apabila sistem yang berlaku kurang berhasil dalam mengalokasikan sumber-sumber yang ada.
BAB 4
Penanganan Masalah

Penanganan masalah merupakan langkah yang mengikuti definisi atau identifikasi masalah dan diagnosis masalah. Keterlambatan penanganan masalah dapat mengakibatkan masalah semakin berkembang parah dan mengandung berbagai komplikasi, sehingga penanganannya akan menjadi lebih sulit.
Dasar pemikiran yang digunakan adalah bahwa masyarakat seharusnya ikut serta dalam upaya rehabilitasi para pecandu alkohol dan menempatkan mereka secara layak dalam masyarakat, serta menjauhkan mereka dari lingkungan yang akan memengaruhi mereka kembali menggunakan obat atau minuman beralkohol. Caranya adalah melalui asimilasi ke dalam kelompok yang kondusif terhadap perilaku yang mematuhi hukum dan sebaliknya dijauhkan dari kelompok yang dapat mendorong tindak dan perilaku menyimpang.
Ada lima prinsip yang perlu diikuti dalam proses rehabilitasi melalui kelompok tersebut yaitu admission, indoctrination, group cohesion, status ascription dan synanon. Admission maksudnya tidak semua pecandu obat secara otomatis diterima dalam kelompok. Hanya mereka yang betul-betul berminat untuk masuk ke dalam kelompok, menyadari kesalahan perilakunya sebagai pemakai dan pecandu obat serta bersedia menerima dan menaati norma kelompok, yang dapat diterima dan bergabung dalam kelompok. Indoctrination maksudnya bahwa rehabilitasi berarti memengaruhi anggota untuk mengadopsi nilai dan sikap tertentu, dalam hal ini adalah sikap antipenyalahgunaan obat, kecanduan obat dan antimabuk. Group cohesion maksudnya ialah melalui kelompok yang kohesif dimungkinkan hubungan saling memengaruhi satu terhadap yang lain khususnya dalam hal ketaatan terhadap norma kelompok. Status ascription maksudnya ialah baik anggota kelompok yang merupakan pecandu obat maupun yang bukan, meraih status dalam kelompok berdasarkan tingkat penampilannya yang antipenyalahgunaan obat dan antimabuk. Synanon dimaksudkan sebagai mekanisme yang efektif untuk rehabilitasi melalui kelompok. Dalam kelompok ini, anggota pecandu obat didorong untuk bekerja sama dengan anggota bukan pecandu obat guna menyadarkan anggota pecandu obat yang lain.
Beberapa alternatif penanganan masalah penyalahgunaan dan kecanduan obat yang diusulkan oleh Lemert (1967: 78) ialah :
1. melalui sistem hukum koersif yang menyatakan bahwa pembuatan, distribusi dan pengonsumsian jenis obat tertentu dan minuman beralkohol sebagai tindakan yang ilegal
2. melalui sistem indoktrinasi berupa informasi tentang kosekuensi, bahaya penggunaan obat tertentu atau minuman beralkohol dengan tujuan agar penggunaan jenis obat dan alkohol tadi dilakukan secara wajar dan tidka berlebihan atau bahkan masyarakat menjadi berpantang terhadap jenis-jenis obat tersebut.
3. melalui peraturan mengenai jenis obat dan minuman beralkohol yang dapat dikonsumsi, standar harganya, cara distribusinya, saat dan tempat yang diperkenankan untuk menggunakannya dan kalangan yang boleh mengkonsumsi berdasarkan umur, jenis kelamin, serta karakteristik sosial ekonomi lain.
4. melalui subtitusi minuman lain yang dianggap lebih aman tetapi ekuivalen dengan jenis yang dilarang.

Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, bahwa masalah produk hukum dan peraturan yang berkaitan dengan penggunaan obat, minuman beralkohol sering kali berhubungan dengan kenyataan adanya berbagai nilai dan kepentingan yang berbeda dan bertentangan dlam masyarakat.
Dipandang dari latar belakang masalah yang berasal dari bekerjanya sistem dalam masyarakat, maka penanganan masalah penyalahgunaan obat juga dapat dilakukan dengan mengintensifikasikan dan menata jaringan komunikasi antar suku yang terkait dengan masalah ini, seperti lembaga pendidikan, lembaga yang berkaitan dengan penyaluran hobi, minat dan bakat. Demikian pula dengan komunikasi yang lancer baik vertical dan horizontal dengan menghilangkan penyumbatan dalam berbagai salurannya, maka berbagai aspirasi akan dapat tertampung, sehingga dapat menghindarkan bentik-bentuk aktivitas pelarian di luar aturan sistem seperti penyalahgunaan obat dan kebiasaan mabuk tersebut.

Lebih dari itu, penanganan masalah penyalahgunaan dan kecanduan obat ini dalam perspektif pembangunan masyarakat dapat didudukan sebagai bagian dari pembinaan sumber daya manusia. Dengan berkurangnya masalah ini maka akan dapat mengurangi beban pembangunan, bahkan sebaliknya dapat meningkatkan kapasitas mereka untuk secara lebih optimal berpartisipasi dalam proses pembangunan. Apalagi jika diingat, bahwa dalam perpektif pembangunan masyarakat faktor manusia tidak semata-mata berfungsi sebagai potensi yang dapat digerakkan, akan tetapi lebih bersifat sebagai aktor atau pelaku dalam proses pembangunan itu sendiri.























KATA PENUTUP

Demikianlah hasil dari makalah yang berisi materi mengenai Masalah Sosial Sebagai Hambatan Peningkatan Kesejahteraan, (Kasus Penyalahgunaan Obat). Penulis berharap supaya makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang telah berkenan untuk membaca.

Tidak lupa penulis juga memohon maaf apabila dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja.
Atas perhatian dan kerja sama dari semua pihak, penulis mengucapkan terima kasih.












Bekasi, 20 Maret 2010



Penulis




DAFTAR PUSTAKA

Soetomo. 2008. masalah sosial dan upaya pemecahannya, Jogjakarta : Pustaka Pelajar

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

Masalah Sosial Sebagai Inspirasi Perubahan ( Kasus Kemiskinan ) dan Upaya Pemecahannya

Mata Kuliah : Sosiologi dan Politik
Dosen : Muhammad Burhan Amin

Topik Tugas : Masalah Sosial Sebagai Inspirasi Perubahan
( Kasus Kemiskinan ) dan Upaya Pemecahannya

Kelas : 1 EB 18

Dateline Tugas : 6 Maret 2010
Tanggal Penyerahan Tugas : 6 Maret 2010


PERNYATAAN

Dengan ini kami menyatakan bahwa seluruh pekerjaan dalam tugas ini kami buat sendiri tanpa meniru atau mengutip dari tim / pihak lain.

Apabila terbukti tidak benar, kami siap menerima konsekuensi untuk mendapat nilai 1/100 untuk mata kuliah ini.


Penyusun

NPM Nama Lengkap Tanda Tangan

20209366
Priscilla Maria Ratu Patty


Program Sarjana Akuntansi
UNIVERSITAS GUNADARMA
Tahun 2010




KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karuniaNya, makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Penulis juga menghaturkan banyak terima kasih kepada Bapak Muhammad Burhan Amin , selaku dosen dari mata kuliah Sosiologi dan Politik yang telah memberikan bimbingan dalam setiap proses penyusunan makalah ini.

Makalah ini merupakan tugas dari mata kuliah Sosiologi dan Politik yang secara garis besar membahas tentang Masalah Sosial Sebagai Inspirasi Perubahan ( Kasus Kemiskinan ) dan Upaya Pemecahannya . Dalam isi makalah ini akan diuraikan mengenai intensitas dan kompleksitas masalah, latar belakang masalah, penanganan masalah berbasis masyarakat, serta upaya penanganan masalah.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja, maka penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun agar dapat menjadi masukan yang bermanfaat bagi pengembangan makalah ini di masa mendatang. Akhir kata penulis mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian dan kesediaannya dalam membaca makalah ini.


Bekasi, 6 maret 2010



Penulis

DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR ……………..……………………… 2
DAFTAR ISI ……………………………………………… 3
BAB 1
- Pendahuluan ………………………...…………………… 4
BAB 2
- Intensitas dan Kompleksitas masalah ….………………… 5
BAB 3
- Latar Belakang Masalah …………………………………. 12
BAB 4
- Penanganan Masalah …………………………………….. 15
BAB 5
KATA PENUTUP ………………………………………….. 20
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………… 21
















BAB 1
PENDAHULUAN


Yang dimaksud dengan masalah sosial adalah suatu kondisi yang dirumuskan atau dinyatakan oleh suatu entitas yang berpengaruh serta mengancam nilai-nilai suatu masyarakat sehingga berdampak kepada sebagian besar anggota masyarakat.

Contohnya adalah masalah kemiskinan yang dapat didefinisikan sebagai suatu standar tingkat hidup yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku di masyarakat yang bersangkutan. Kondisi kemiskinan dengan berbagai dimensi dan implikasinya, merupakan salah satu bentuk masalah sosial yang menggambarkan kondisi kesejahteraan yang rendah.

Salah satu penyebab utama timbulnya masalah sosial adalah pemenuhan akan kebutuhan hidup. Artinya jika seorang anggota masyarakat gagal memenuhi kebutuhan hidupnya maka ia akan cenderung melakukan tindak kejahatan dan kekerasan. Dan jika hal ini berlangsung lebih masif maka akan menyebabkan dampak yang sangat merusak seperti kerusuhan sosial.





BAB 2
Intensitas dan Kompleksitas Masalah

Sehubungan dengan hal ini, perlu disadari bahwa masalah kemiskinan telah distudi oleh berbagai ilmuwan sosial yang berasal dari latar belakang disiplin yang berbeda. Oleh sebab itu, wajar pula apabila kemudian dijumpai berbagai konsep dan cara pengukuran tentang masalah kemiskinan ini. Dalam konsep ekonomi misalnya, studi masalah kemiskinan akan segera terkait dengan konsep standar hidup, pendapatan dan distribusi pendapatan.
Sementara itu ilmuwan sosial yang lain tidak ingin berhenti pada konsep-konsep tersebut, melainkan mengaitkannya dengan konsep kelas, stratifikasi sosial, struktur sosial dan bentuk-bentuk diferensiasi sosial yang lain. Konsep taraf hidup (level of living) misalnya, tidak cukup dilihat dari sudut pendapatan, akan tetapi juga perlu melihat faktor pendidikan, kesehatan, perumahan dan kondisi sosial yang lain. Hardiman dan Midgley (1982: 33), mengemukakan tiga pendekatan yaitu ; garis kemiskinan, indicator kesejahteraan dan pengukuran ketimpangan.

Sementara itu, tidak kurang pihak-pihak lain yang justru lebih menampilkan aspek non ekonomi, sebagai indicator yang dominant. Pandangan ini menghendaki agar indikator pembangunan lebih melihat perbaikan kehidupan dilihat dari aspek manusianya (improvement of human life). Dengan demikian, pembangunan seharusnya diperuntukan bagi semua pihak dan semua lapisan masyarakat, serta paling tidak mengandung tujuan:
1. memperbaiki hal-hal yang berkaitan dengan penopang hidup warga masyarakat
2. memperbaiki kondisi kehidupan yang memungkinkan terpenuhinya kebutuhan harga diri
3. adanya kebebasan, termasuk di dalamnya kebebasan dari penindasan, dari ketidakacuhan serta dari kesengsaraan dan kemelaratan (Goulet, 1973: 94).

Adanya berbagai variasi pendekatan dalam pengukuran tersebut sekaligus juga menunjukan bahwa kemiskinan dapat dilihat secara absolut dan secara relative. Secara absolut maksudnya tingkat kemiskinan diukur dengan standar tertentu, sehingga kemudian dapat dikatakan bahwa mereka yang taraf hidupnya di bawah standar yang ditentukan tersebut dikatakan miskin, sebaliknya mereka yang berada diatas standar dinyatakan tidak miskin. Dengan cara seperti ini dapat dilakukan pengukuran yang lebih mudah dan sederhana, termasuk penggunaannya sebagai suatu indikator untuk melihat keberhasilan suatu proses pembangunan dalam rangka upaya pengentasan kemiskinan.

Dengan membandingkan jumlah penduduk yang berada di bawah standar berdasarkan indikator yang digunakan pada periode sebelum dan sesudah proses pembangunan, maka dapat diketahui keberhasilan dari proses tersebut dalam upaya mengentaskan kemiskinan. Apabila perbandingannya dilakukan antardua kondisi yang mempunyai rentang waktu yang cukup panjang dan tuntutan kebutuhan hidup juga semakin meningkat sebagai akibat perubahan sosial ekonomi yang telah terjadi, maka standar yang dipakai dianggap sudah tidak memadai lagi. Permasalahan yang sama akan dijumpai apabila memerhatikan straktifikasi sosial yang ada, dimana walaupun lapisan bawah telah meningkat taraf hidupnya, akan tetapi apabila peningkatan itu dibandingkan dengan yang dialami oleh lapisan lain masih jauh rendah, maka secara relatif masih merasakan kondisinya tetap miskin.

Oleh sebab itulah di samping adanya pengertian kemiskinan absolut, dikenal juga relatif. Konsep yang terakhir ini bertambah relavan digunakan dalam masyarakat yang sudah semakin terbuka dan semakin berkembang. Melalui konsep kemiskinan relative ini, kemiskinan tidak semata-mata diukur dengan menggunakan standar yang baku, melainkan juga dilihat dari seberapa jauh peningkatan taraf hidup lapisan terbawah telah terjadi dibandingkan dengan lapisan masyarakat yang lain, juga dibandingkan dengan kenaikan tuntutan kebutuhan hidup yang berkembang sejalan dengan perkembangan kehidupan masyarakat.

Sebagaimana diketahui berdasarkan perspektif labeling masalah sosial termasuk masalah kemiskinan bersifat relatif tergantung bagaimana interpretasi masyarakat. Walaupun dengan menggunakan standar tertentu seseorang dinyatakan sudah tidak miskin lagi, akan tetapi ia akan tetap merasa berada dalam kondisi kemiskinan apabila yang bersangkutan menginterpretasikannya masih berada dalam kondisi seperti itu. Interpretasi yang dilakukan dapat menggunakan referensi hasil interaksi sosialnya, misalnya pemahaman tentang taraf hidup lapisan masyarakat lain dan pemahamannya tentang tuntutan kebutuhan yang semakin meningkat.

Pada umumnya orang berpendapat, bahwa kondisi kemiskinan tersebut telah mempengaruhi secara negatif terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat sehingga tidak jarang menciptakan suatu kondisi yang disebut lingkaran yang tak berujung pangkal. Terciptanya kondisi semacam ini akan semakin mempersulit masyarakat keluar dari masalah kemiskinan. Dari sudut ekonomi misalnya, dapat dikatakan bahwa karena kondisi kemiskinan, maka pendapatan hanya cukup bahkan tidak jarang kurang mencukupi untuk memenuhi kebutuhan minimal. Dengan demikian sulit diharapkan adanya kemampuan menabung. Tidak adanya tabungan mengakibatkan tidak adanya investasi sehingga produktivitas tetap rendah. Rendahnya produktivitas menyebabkan rendahnya pendapatan dan tetap bertahannya kondisi kemiskinan. Dari sisi lain, kemiskinan dapat terbentuk dari rendahnya gizi dan nutrisi.

Sementara itu Kartodirdjo (1987: 75) menempatkan dua jenis sindrom yaitu sindrom kemiskinan dan sindrom inertia sebagai permasalahan pokok yang harus dipecahkan dalam usaha pembangunan. Di daerah pedesaan, sindrom kemiskinan berkaitan dengan berbagai dimensi yang saling memperkuat seperti produktivitas rendah, pengangguran, tunatanah, kurang gizi, tingginya morbiditas, buta huruf. Sedangkan sindrom inertia berakar pada passivisme, fatalisme, terarah ke dalam, serba patuh, ketergantungan. Dari berbagai pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa masalah kemiskinan sering kali sudah mengarah pada terjadinya komplikasi yang membuat lebih sulit untuk melakukan pananganan yang tuntas. Paling tidak kondisi tersebut mengisyaratkan perlunya penanganan yang bersifat komprehensif.

Faktor-faktor yang mempengaruhi bentuk jaringan berupa perangkap kemiskinan tersebut adalah : kemiskinan, kelemahan fisik, isolasi, kerentanan, dan ketidakberdayaan. Saling hubungan dan saling pengaruh kelima faktor tadi satu persatu diuraikan dengan cukup jelas. Diantara kelima faktor tadi, kemiskinan ditunjuk sebagai faktor yang paling menentukan dibandingkan yang lain.

Aspek ekonomis antara lain menyangkut terbatasnya pemilikan faktor produksi, rendahnya tingkat upah, posisi tawar yang lemah dalam menentukan harga, rentan terhadap kebutuhan mendesak karena tidak punya tabungan, kemampuan yang lemah dalam mengantisipasi peluang ekonomi. Aspek psikologis terutama bekaitan dengan perasaan rendah diri, sikap fatalisme, dan merasa terisolasi. Aspek sosiologi terutama rendahnya akses pelayanan social, berbatasnya jaringan interaksi social dan terbatasnya penguasaan informasi. Aspek politis antara lain berkaitan dengan kecilnya akses terhadap berbagai fasilitas dan kesempatan, perlakuan diskriminatif, lemahnya posisi dalam melakukan bargaining untuk menuntut hak dan kurangnya keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan.

Berbagai pendapat yang sudah dikemukakan tersebut memang lebih banyak pada realita kemiskinan di daerah pedesaan, walaupun demikian kecenderungan tadi sebetulnya juga berlaku untuk kondisi kemiskinan pada umumnya. Dalam pembahasannya tentang kemiskinan di Amerika Serikat yang pada umumnya justru terdapat dalam masyarakat kota, Elitzen (1986 : 165) juga mengidentifikasi adanya berbagi konsekuensi psikologi dan sosiologis diantarnya dikatakan bahwa lapisan miskin pada umumnya cenderung terisolasi dari lapisan masyarakat lain. Dalam perdagangan masyarkat lain mereka terkesan malas, kotor dan imoral.

Kondisi ini disadari oleh lapisan miskin sendiri dan mereka mendefinisikan dirinya sebagai kelompok yang gagal dan kelompok yang terlempar dari lingkungannya. Kesadaran semacam ini sering menimbulkan sikap yang apatis. Lebih lanjut disebutkan beberapa karakteristik yang kurang lebih sama dengan kemiskinan di pedesaan yang sudah diuraikan lebih dahulu, yaitu tidak mempunyai power dan lemah dalam bargaining yang akibatnya sampai pada kesadaran bahwa mereka tidak mampu menguasai nasibnya sendiri karena lebih ditentukan oleh orang lain.

Bahkan dalam masyarakat kota yang lebih bersifat individualistic dengan hasrat berprestasi yang lebih tinggi, dimana faktor kerja dan memperoleh uang merupakan bagian penting dalam kehidupan masyarakat, maka menjadi miskin dan kehilangan pekerjaan akan mempunyai dampak sosiologis dan psikologis yang lebih berat. Memperoleh uang dianggap merupakan tujuan antara, karena berada di antara motivasi dan kebutuhan dengan tujuan akhir yang berupa kehidupan yang lebih disukai. Bagaimana pun tidak dapat diingkari bahwa keluarga merupakan lingkungan sosial yang penting di mana anak-anaknya belajar dan memantapkan berbagai norma sosial yang berlaku. Sehubungan dengan hal ini, kondisi keluarga miskin sebagai lingkungan sosial kurang mendukung atau kurang membantu terbentuknya watak atau sifat-sifat pribadi yang dapat mendobrak kemiskinan ( Saparinah Sadli dalam LP3ES, 1986: 128 ).

Dalam jangka panjang, pewarisan kemiskinan antargenerasi ini juga akan didukung oleh proses sosialisasi nilai. Situasi kemiskinan yang telah terlalu lama mencekam suatu kelompok dapat membentuk budaya kemiskinan sebagai suatu subbudaya yang kemudian membentuk nilai-nilai khas yang erat hubungannya dengan masalah kemiskinan dan usaha manusia untuk mengadaptasikan diri dengan situasi tersebut ( Susanto , 1984: 113 ). Nilai semacam ini kemudian dapat tersosialisasikan kepada generasi berikutnya melalui kehidupan keluarga.

Walaupun demikian, perlu diingat bahwa reaksi kelompok miskin terhadap kondisi yang dihadapinya tidaklah selamanya menjurus pada apatisme dan berserah diri. Secara teorik dikenal tiga alternatif yang dapat dilakukan oleh kelompok miskin dalam menanggapi kehidupannya yang tidak menguntungkan. Ketiga alternatif tersebut adalah accommodation, avoidance, dan aggression (Elitzen, 1986; 166). Menurut Chamber (1987: 183) ketiga strategi bersikap itu juga berlaku bagi kelompok miskin di daerah pedesaan. Walaupun demikian, menurut pengamatannya strategi menyingkir dan bersuara (avoidance dan aggression) merupakan strategi yang mengandung resiko, sehingga kurang disukai kelompok miskin di pedesaan. Pada umumnya mereka lebih suka memilih menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi yang ada (accommodation).




















BAB 3
Latar Belakang Masalah

Setiap masalah mempunyai latar belakang masing-masing. Dengan memahami latar belakangnya akan lebih mudah diidentifikasi sifat, ketulusan dan kedalaman masalahnya. Dalam proses berikutnya, pemahaman latar belakang masalahnya ini juga akan sangat bermanfaat guna menentukan langkah-langkah sebagai upaya menanganinya.

Menurut pendekatan pertama, kemiskinan merupakan akibat dari sifat malas, kurangnya kemampuan intelektual, kelemahan fisik, kurangnya keterampilan dan rendahnya kemampuan untuk menanggapi persoalan di sekitarnya. Dalam perkembangan lebih lanjut, pandangan ini juga memasukan faktor individual lain yang berupa adopsi budaya kemiskinan dan rendahnya need for achievement sebagai faktor penyebab kemiskinan (Hardiman and Midgley, 1982:51), pendek kata kemiskinan lebih dilihat dari cacat dan kelemahan individual. Sebagai misal, karena mempunyai sifat pemalas maka menjadi segan untuk bekerja keras guna meningkatkan kondisi kehidupan. Demikian juga karena kemampuan intelektual dan pengetahuanya rendah mengakibatkan kurang mampu untuk mengantisipasi berbagai peluang ekonomis yang terbuka, sehingga membuat pendapatannya tetap rendah dibandingkan anggota masyarakat yang lain.

Di lain pihak, pendekatan kedua lebih melihat masyarakat termasuk sistem dan strukturnya sebagai penyebab masalah kemiskinan. Contoh yang sudah disebutkan antara lain adalah kondisi sosial yang menghadirkan berbagai kepentingan, baik ketimpangan antara desa dan kota, antarlapisan masyarakat termasuk antarjenis kelamin. Dilihat dalam kaitannya dengan kebijakan pembangunan, masalah kemiskinan yang disebabkan oleh ketimpangan antara desa dan kota ini terutama merupakan implikasi strategi pembangunan yang biasa kota. Perwujudannya bukan hanya dalam bentuk jumlah investasi pembangunan yang lebih banyak dicurahkan untuk pembangunan sektor-sektor perkotaan, akan tetapi juga oleh karena seluruh instrumen dan mekanisme kerjanya biasa lebih menguntungkan kepentingan penduduk kota (Nasikun, 1991).

Bagi negara-negara sedang berkembang, masalah ketimpangan distribusi pendapatan pada umumnya dijumpai pada tahap-tahap awal proses pembangunan nasionalnya. Hal itu disebabkan karena pada tahap tersebut pada tahap tersebut perhatian lebih difokuskan pada usaha mengejar pertumbuhan ekonomi yang pesat melaui peningkatan GNP.

Dalam proses lebih lanjut, hal tersebut dapat menyebabkan berbagai ketimpangan. Seperti sudah diuraikan sebelumnya, ketimpangan tadi dapat terjadi baik pada level internasional, nasional, dan local (daerah pedesaan). Dixon (1990: 53) mengemukakan, bahwa ketimpangan pada level internasional disebabkan oleh adanya eksploitasi negara penjajah terhadap daerah jajahannya pada masa kolonial, sedang masa pascakolonial berupa terjadinya proses pertukaran yang tidak seimbang antara negara maju dan negara sedang berkembang yang antara lain berupa investasi dunia maju di negara sedang berkembang yang kemudian diikuti mengalirnya repatriasi profit dalam jumlah yang besar. Proses pada level internasional ini kemudian menghasilkan pembagian negara-negara di dunia menjadi negara kaya dan negara miskin. Pada level nasional, ketimpangan terjadi sebagai akibat proses pertukaran yang tidak seimbang antara sektor pedesaan dan perkotaan. Salah satu bentuknya adalah rendahnya harga produksi pertanian dan kebijakan menekan harga bahan makanan agar tetap rendah sementara tidak demikian halnya untuk barang hasil industri. Selain itu, kondisi tersebut juga disebabkan oleh kebijakan yang biasa kota dimana investasi lebih banyak dicurahkan untuk sektor di kota.

Proses semacam ini kemudian mengakibatkan terkonsentrasinya kekuatan politik dan ekonomi tangan lapisan menengah di kota. Selanjutnya, pada tingkat desa ketimpangan lebih banyak disebabkankarena elit lokal, pemilik tanah luas, pelepas uang dan lapisan pedagang di desa makinmapan dalam penguasaan sumber daya. Pada gilirannya kondisi ini akan membuat mereka lebih berposisi strategis dalam memanfaatkan berbagai peluang dan sumber daya baru yang muncul. Proses seperti ini kemudian dianggap merupakan sumber terjadinya polarisasi dalam masyarakat desa.

Di pihak lain, kemiskinan buatan terjadi karena kelembagaan-kelembagaan yang membuat anggota atau kelompok masyarakat tidak menguasai sarana ekonomi dan fasilitas-fasilitas secara merata. Dengan demikian sebagian anggota masyarakat tetap miskin walaupun sebenarnya total produksi yang dihasilkan oleh masyarakat tersebut bila dibagi rata dapat membebaskan semua anggota masyarakat dari kemiskinan.





BAB 4
Penanganan Masalah

Strategi dan pendekatan dalam menangani masalah akan sangat ditentukan oleh pendekatan yang digunakan dalam memahami latar belakang masalahnya. Dengan meminjam istilah medis dapat dikatakan, bahwa treatment dalam menangani kemiskinan akan sangat ditentukan oleh diagnosis yang telah dilakukan.

Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, maka strategi pembangunan masyarakat dalam menangani kemiskinan akan sangat dipengaruhi oleh pendekatan dalam memahami latar belakang dan sumber masalahnya. Dalam hal ini upaya pembangunan masyarakat akan lebih dititikberatkan pada peningkatan kualitas manusianya sehingga akan dapat berfungsi lebih efektif dalam upaya peningkatan taraf hidupnya. Dengan peningkatan kualitas ini akan memungkinkan peningkatan kemampuan dalam mengantisipasi berbagai peluang ekonomi yang muncul di samping peningkatan kemampuan dan produktivitas kerja.

Hal yang sama juga berlaku bagi perbedaan pemahaman latar belakang kemiskinan melalui penjelasan fisik dan ekologi dan penjelasan dari segi ekonomi politik. Demikian pula dalam hal perbedaan konsep kemiskinan alamiah dan kemiskinan buatan atau kemiskinan struktural. Kemiskinan alamiah pada umumnya dicoba diatasi dengan berbagai bentuk pembangunan prasarana fisik, pemasukan modal dan pengenalan teknologi baru. Sedangkan kemiskinan buatan atau kemiskinan structural dicoba diatasi melalui berbagai perubahan struktural, perubahan kelembagaan dan perubahan dalam berbagai bentuk hubungan sosial ekonomi.

Dalam penerapanya untuk masyarakat desa, khususnya masyarakat pertanian, improvement approach dimaksudkan sebagai usaha untuk memperbaiki secara berangsur-angsur cara kerja pertanian dengan jalan menggerakan petani dari segi psikologis dan teknis guna meningkatkan produksi tanpa perubahan radikal dalam sistem sosial tradisional. Dalam gerak pelaksanaannya lebih menitikberatkan pada peningkatan motivasi petani, penguasaan keterampilan, cara kerja dan teknologi baru serta menyediakan berbagai fasilitas dan pelayanan yang dibutuhkan. Dalam masyarakat yang sama yaitu masyarakat pertanian, transformation approach dapat dimanifestasikan dalam bentuk perubahan mendasar dalam system pemilikan dan penguasaan tanah serta perubahan dalam institusi social yang mengatur hubungan sosial ekonomi pedesaan. Melalui penguasaan tanah yang lebih memadai akan memungkinkan petani keluardari kondisi kemiskinan dan mendorong mereka guna melaksanakan sistem usaha tani yang lebih produktif.

Dilihat dari seberapa jauh suatu strategi pembangunan masyarakat melakukan perubahan structural dalam rangka usaha peningkatan taraf hidup, Dixon (1990: 59) membedakan adanya tiga bentuk strategi, yaitu strategi teknokratik, reformis dan radikal.
1. Strategi Teknokratik
Bertujuan untuk peningkatan produksi, dengan demikian sasaran utamanya adalah lapisan yang memungkinkan peningkatan produksi secara cepat dan efisien yaitu elite desa dan pemilik tanah luas.

2. Strategi Reformist
Bertujuan untuk melakukan redistribusi pendapatan di samping peningkatan produksi, untuk itu strategi ini mengambil sasaran utama petani menengah dan petani progresif dalam masyarakat desa.

3. Strategi Radikal
Sesuai dengan namanya, mempunyai tujuan utama melakukan perubahan struktural dan institusional dalam rangka mempercepat terjadinya redistribusi kewenangan politik, kekayaan, dan produksi. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila kelompok sasaran strategi yang terakhir tersebut adalah petani kecil, petani tak bertanah dan buruh tani.

Sehubungan dengan itu Kramer (1969: 4) mengemukakan empat bentuk partisipasi lapisan miskin dalam program pengentasan kemiskinan khususnya melalui suatu model yang disebut dengan Community Action Programs (CAP).

1. Partisipasi dalam proses pengambilan keputusan
Dengan keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan tersebut, diharapkan kepentingan dan permasalahan lapisan miskin ini akan dapat tercermin dalam program yang dibuat.

2. Partisipasi dalam perkembangan program
Dasar pemikirannya adalah, sebagai kelompok sasaran, lapisan miskin akan berkedudukan sebagai konsumen program. Maka, agar program yang ditawarkan betul-betul sesuai dengan kebutuhan dan persoalan kelompok sasaran, maka mereka perlu didengar pendapat dan sarannya terutama tentang kebutuhan dan kepentingan serta aspirasinya yang betul-betul riil.

3. Partisipasi pada keterlibatan dalam gerakan sosial
Bentuk ini barangkali paling radikal dan controversial dibandingkan bentuk yang lain. Dalam konsep ini lapisan miskin dilihat sebagai pihak yang tidak berdaya. Oleh sebab itu, agar mereka dapat ikut serta dalam proses pengambilan keputusan dibutuhkan stimulasi dan dukungan agar dapat menjadi pressure group yang efektif.

4. Partisipasi yang dinilai sebagai bentuk yang paling tidak kontroversial
Salah satu dasar pertimbangannya adalah bahwa mereka menjadi miskin karena terbatasnya alternative bagi mereka untuk dapat melakukan pekerjaan guna meningkatkan pendapatan.

Keempat bentuk tersebut adalah sekedar alternative yang ditawarkan Kramer. Alternatif mana yang dipilih akan sangat ditentukan oleh kondisi permasalahan kemiskinan yang dihadapi. Tidak tertutup pula kemungkinan adanya modifikasi dan berbagai model yang ditawarkan tersebut.

Mengingat bahwa pembangunan masyarakat termasuk pembangunan masyarakat dalam rangka pengentasan kemiskinan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, maka reorientasi kebijakan yang dimaksud dapat dimulai dari lingkup pembangunan nasional. Walaupun demikian, di banyak Negara diperoleh kenyataan, bahwa laju pertumbuhan yang mengesankan tersebut juga diikuti dengan masalah ketimpangan relative dan kemiskinan absolut (The Kian Wie, 1981: 3).
Melihat pengalaman pelaksanaan berbagai program penanganan kemiskinan yang sudah dilakukan selama ini, pendekatan yang komprehensif memang sangat diperlukan. Pendekatan komprehensif tersebut meliputi penanganan masalah kemiskinan yang bukan hanya didekati secara darurat melalui model jaringan pengaman tetapi juga yang bersifat institusional dan berkelanjutan, bukan hanya yang bersifat karitatif melainkan juga yang berdampak pengembangan kapasitas, bukan hanya pemberdayaan ekonomi melainkan juga pemberdayaan sosial dan politik.



















KATA PENUTUP

Demikianlah hasil dari makalah yang berisi materi mengenai Masalah Sosial Sebagai Inspirasi Perubahan ( Kasus Kemiskinan ) dan Upaya Pemecahannya. Penulis berharap supaya makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang telah berkenan untuk membaca.

Tidak lupa penulis juga memohon maaf apabila dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja.
Atas perhatian dan kerja sama dari semua pihak, penulis mengucapkan terima kasih.










Bekasi, 6 Maret 2010



Penulis


DAFTAR PUSTAKA

Soetomo. 2008. masalah sosial dan upaya pemecahannya, Jogjakarta : Pustaka Pelajar

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

Kredit Motor yang Menguntungkan

Untuk terjun ke dunia bisnis, sebenarnya tidak terlalu susah … hanya perlu sedikit usaha dan keinginan untuk sukses serta tidak ada rasa malu untuk terus belajar dan bertanya kepada yang lebih ahli. Seperti hal nya saya, saya begitu beruntung hidup di lingkungan yang dapat menjadi tempat bertanya dalam hal apapun termasuk bisnis.

Setelah berdiskusi dengan ayah saya mengenai bisnis, ayah saya memberi tahu bisnis yang sepele tetapi tidak semua orang sadar yakni bisnis yang berhubungan dengan motor. Disini modal yang kita perlukan untuk satu buah motor ialah kurang lebih Rp. 1000.000 ..

Penjelasannya ialah kita mempunyai modal ( anggap ) Rp. 5000.000 lalu modal tersebut kita gunakan untuk melakukan DP motor yang harga 1 motornya sebesar Rp. 12.000.000 . 1 motor nya kita beri DP sebesar Rp. 1000.000, maka dengan modal Rp. 5000.000 kita menerima kreditan motor sebanyak 5 buah. Setelah motor tiba, kita mulai dengan mengojekan ke-5 motor tersebut. Untuk mengojekkan motor, kita harus benar-benar kenal dekat dan orang tersebut harus kita percaya.

Selanjutnya untuk 1 motor wajib menyetorkan uang kurang lebih Rp. 25.000 / hari . Nah, dalam 1 bulan per motornya kita membayar angsuran Rp. 500.000 sedangkan untuk 1 motor kita menerima tiap bulan Rp. 750.000 .

Setelah kurang lebih 3 tahun, ke-5 motor sebut menjadi hak milik kita. Setelah itu kita jual motor tersebut. Selang 3 tahun untuk 1 motor kita bisa jual dengan harga Rp. 6000.000 . Artinya kita akan menerima uang kurang lebih Rp. 30.000.000 dan itu masih diluar uang apabila ojek kita lagi laris… hehehe,,

Jadi,, sepele tapi menguntungkan !!

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

Gelang GILANG

Saya adalah seorang mahasiswi lulusan SMK, pada waktu di SMK saya belajar kewirausahaan dan pada saat itu saya berbisnis dengan menjual gelang buatan saya sendiri.

Dari SMP saya memang suka untuk membuat sesuatu yang nantinya dijual.. meskipun untungnya tidak begitu besar. Ketika di SMK saya membuat gelang yang saya beri nama Gelang Gilang. Dengan modal yang tidak seberapa saya dapat menghasilkan gelang yang beraneka warna lalu saya jual ke teman sekelas, adik kelas, maupun kakak kelas.

Karena semakin banyak pelanggan, saya merasa tidak sanggup untuk membuat dan mempromosikan gelang buatan saya itu seorang diri. Saya meminta 2 orang teman saya untuk membantu saya dan alhasil semua berjalan lebih baik.

Pesanannya berdatangan dengan beragam warna. Untuk pemasarannya kita juga memasang di mading. Akan tetapi itu tidak bertahan lebih lama karena ketika kelas 12 kita fokus di ujian.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments